“BK” APA “KP” YA?

Oleh: Uno Harsoyo (Asesor Kompetensi Ketenagalistrikan)

Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan telah menjadi kegiatan yang cukup sibuk sejak diundangkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009. Dengan kata lain bahwa setiap Tenaga Teknik di sektor ini wajib hukumnya memiliki Sertifikat Kompetensi (serkom) atau Keahlian sebagai bukti pengakuan resmi.

Sertifikat Kompetensi menjadi kebutuhan mutlak baik secara individu Tenaga Teknik tersebut maupun bagi institusi perusahaan sektor ketenagalistrikan sebagai syarat untuk melaksanakan perkerjaan alih-alih pekerjaan berdasar SPK atau Kontrak Kerja.

Jumlah Sertifikat Kompetensi yang terbit pada tahun 2022 sampai dengan bulan Agustus 2022 adalah 74.010 sertifikat dengan jumlah pelaksana sertifikasi sebanyak 34 Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) (sumber: paparan DJK).

Sertifikat Dulu Apa Bekerja Dulu?

Yang melaksanakan pekerjaan harus memiliki sertifikat sebagai bukti bahwa Tenaga Teknik tersebut terampil dalam melaksanakan pekerjaan tersebut sedangkan untuk mendapatkannya harus terampil (kompeten) lebih dulu dalam melaksanakan pekerjaan itu.

Realita yang terjadi dalam pelaksanaan sertifikasi sering muncul fenomena bahwa Tenaga Teknik belum terampil dalam melaksanakan pekerjaan sedangkan yang bersangkutan menempuh sertifikasi untuk mendapat sertifikat supaya dapat bekerja.

Ibarat “telur dan ayam”, mana yang harus ada lebih dulu.

Pelaksanaan Uji Sertifikasi

Tim Uji Kompetensi Ketenagalistrikan dalam menjalankan tugas dari Pimpinan LSK sering dihadapkan pada situasi dilematis untuk menetapkan keputusan hasil akhir atau rekomendasi bagi Peserta Uji. Belum Kompeten atau Kompeten? BK atau KP?

Tolok ukur atau batasan nilai kompetensi Peserta Uji secara regulasi tidak begitu susah dipahami namun dalam prakteknya hal ini tidak semudah membedakan warna hitam dan putih dalam memutuskan hasil final saat uji.

Dimulai dari pelaksanaan Uji Tulis, dalam hal ini untuk mengukur kompeten atau tidaknya Peserta Uji bisa dikatakan sangat mudah karena hasilnya dalam bentuk “angka” yang sifatnya kuantitatif. Di situ ada batasan yang jelas pencapaian hasil uji sehingga penentuan Kompeten atau Belum Kompeten dapat dengan mudah ditentukan. Namun tidak demikian halnya pada pelaksanaan Uji Praktek dan Uji Wawancara yang nilai keduanya bersifat kualitatif, tidak jelas terukur dengan angka.

Pada pelaksanaan Uji Praktek, kompetensi Peserta Uji sering yang nampak kompeten tetapi rasanya masih “patut diduga” meragukan, karena pelaksanaan praktek masih ada kemungkinan unsur “skenario”, masih ada kemungkinan si Peserta Uji sedang “memerankan” atau ber-acting sebatas peran tertentu yang sudah dilatih berulangkali apalagi khususnya Uji Praktek dengan cara online dan dalam bentuk rekaman Video Praktek. Penentuan kompetensi dalam hal Uji Praktek tidak terukur jelas sehingga agak susah juga merekomendasikannya. Pengalaman Penulis dalam penentuan kompetensi dengan coba “di-angka-kan” tetap saja masih terasa relatif dan mungkin juga sekaligus masih kental subyektifnya.

Pada pelaksanaan Uji Wawancara, yang mana ini merupakan kesempatan menggali lebih dalam kompetensi Peserta Uji secara interaktif serta sekaligus klarifikasi hasil Uji Tulis dan Uji Praktek, pada umumnya terlihat lebih jelas kompetensi Peserta Uji pada Okupasi Jabatannya. Namun pada kasus tertentu ada juga yang tidak mudah terlihat, bisa salah satunya karena kemampuan komunikasi verbal Peserta Uji yang kurang komunikatif akibat terkendala oleh bahasa dan atau dialek atau istilah lokal si peserta uji, atau bisa juga memang kemampuan komunikasi yang kurang tetapi sebenarnya Peserta Uji paham tentang siklus pekerjaan okupasi yang sedang ditempuh.

Hal ini akan bertambah tidak mudah lagi oleh situasi interaksi yang tidak kondusif antara Asesor dan Peserta Uji, salah satunya disebabkan faktor emosi baik emosi dari Peserta Uji dan atau emosi Asesor. Komunikasi interaktif antara Peserta Uji dan Asesor yang mewawancari ternyata merupakan bentuk ”seni” tersendiri. Dalam pelaksanaan bisa muncul bermacam-macam situasi yang tidak kondisif seperti marah (lebih sering Asesor sih), frustrasi Peserta Uji, apalagi ditambah topik wawancara bisa berkembang keluar batas materi uji okupasi Peserta Uji.

Dalam hal manajemen komunikasi pada saat Uji Wawancara, persoalan emosi sepertinya perlu mendapat perhatian bersama khususnya anggota Tim Uji dan hendaknya Ketua Tim Uji tidak lupa memerankan tugas sebagai “hakim garis” dalam rangka menjaga pelaksanaan Uji Wawancara berlangsung lancar sesuai aturan main dan kondusif.

Rekomendasi Hasil Uji

Tidak jarang Tim Uji dihadapkan pada situasi dilema pada saat menentukan rekomendasi hasil uji yang merupakan babak akhir dari pelaksanaan uji ini.

Kemungkinan bisa timbul hasil “paradoks” antara ketiga tahapan uji (Uji Tulis, Uji Praktek, dan Uji Wawancara) tersebut, di mana hasil Uji Tulis sangat kompeten (nilainya bagus), hasil Uji Praktiknya relatif kompeten, tapi hasil Uji Wawancara (sepertinya) belum kompeten.

Kemungkinan hasil “paradoks” lain, di mana hasil Uji Tulis tidak kompeten (nilainya jelek), hasil Uji Prakteknya relatif kompeten, tapi hasil Uji Wawancara kompeten (menguasai siklus kerja), dan lain sebagainya.

Paradoks dengan segala variasi inilah yang pada akhirnya menimbulkan situasi dilema bagi Tim Uji Kompetensi dalam pengambilan keputusan rekomendasi untuk masing-masing Peserta Uji. Dalam hal ini diperlukan ketegasan yang disertai kearifan-kebijaksaan, dan tentu saja intuisi “marketing” Perusahaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *